Sabtu, 01 Juni 2013

refleksi pastoral kemasyarakatan



Refleksi Pastoral
Oleh : Fr. Bonaventura Mario, Pr

Aku berpastoral kemasyarakatan selama 9 bulan di toko buku murah ‘Marina’ di jl, Semarang Surabaya. Meskipun waktu pastoralku hanya satu bulan sekali, aku mensyukuri pengalaman yang tak terlupakan ini. Karena selain berkesan, pengalaman pastoralku ini juga mempunyai makna bagiku, yaitu sebagai bekalku dalam menjalani panggilan sebagai seorang calon imam.
Secara umum, yang aku lakukan saat berpastoral adalah membantu melayani pembeli, mereparasi buku-buku yang sudah rusak, menjahit isinya buku bajakan, memilah-milah buku yang dibeli, dan ngobrol dengan karyawan dan pembeli. Dari sekian banyak kegiatan yang kulakukan, kegiatan yang paling berkesan  bagiku adalah ngobrol dengan karyawan dan pembeli, karena dari obrolan inilah aku memperoleh informasi, pengetahuan, dan kisah-kisah yang bermakna bagiku. Selain itu, dengan ngobrol aku juga bisa mempraktekkan dan memperdalam pengetahuan filsafatku, terlebih lagi yang berkaitan dengan sosiologi dan politik.
Dari obrolanku dengan pemilik toko dan karyawan, ada beberapa kisah yang dapat kurefleksikan. Kisah yang pertama adalah kisah penggusuran PKL jl. Semarang. Mereka menceritakan bagaimana para petugas Satpol PP menggusur kios-kios PKL dengan tidak berperikemanusiaan. Dari situ aku melihat keinginan mereka untuk bertahan hidup, mempertahankan mata pencahariaan mereka demi mencari sesuap nasi dan sepiring kebahagiaan. Ketika memperjuangkan nasibnya, mereka tidak sendirian, namun ada campur tangan Rm. Ghani, CM yang mendampingi dan menguatkan mereka. Pribadi Rm. Ghani begitu mereka hargai dan mereka junjung tinggi karena kepedulian dan pengorabannya yang tidak setengah-setengah. Pernah suatu kali beliau ditangkap polisi dan menginap beberapa hari di penjara, demi memperjuangkan nasib mereka.
Kisah yang kedua adalah kisah perjuangan hidup salah seorang karyawan yang dulunya adalah anak jalanan yang mengalami perbaikan nasib ketika dididik dan dibina oleh PRD. Karyawan ini disekolahkan hingga SMA dan diberi tempat tinggal, kemudian diberi pendidikan mengenai ketiga prinsip filosofi mereka, yaitu sosialisme, materialisme, dan politik.        Darinya, aku memperoleh kesadaran baru yaitu pendidikan mengubah masa depan. Anak-anak jalanan yang dipandang sebelah mata, bila dididik dan dibina, bisa menjadi orang yang mempunyai soft skill dan hard skill yang menjadi bekal dalam menjalani hidupnya. Mereka tidak hanya berfilsafat, berbicara mengenai hal-hal yang  ideal, tetapi juga yang membantu orang-orang yang terpinggirkan, misalnya anak jalanan, pelacur, pengemis, orang gila, dll.  
Karena aku begitu semangat dan antusias ketika mendengarkan kisahnya, merekapun berjanji kepadaku, suatu saat nanti aku akan diajak ke tempat-tempat dimana mereka membina para membantu dan membina para pelacur, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Aku menyambut tawaran mereka dengan antusias, namun hingga akhir pastoral ini, janji itu belum pernah terealisasi. Hal ini terjadi karena ada 2 faktor, yang pertama, mereka lupa akan janjinya dan juga belum ada waktu yang pas untuk itu. Faktor yang kedua adalah penyadaran dari Rm. Edi selaku rektor STPD yang mengingatkanku di akhir semester I. Beliau menyarankan aku agar tidak larut dalam gerakan-gerakan praktis seperti itu, tetapi tetap menjadi calon imam yang ketika menjadi imam kelak, memberikan motivasi, inspirasi, pencerahan, dan peneguhan atas gerakan mereka.
Dari berbagai hal diatas, ada beberapa nilai yang aku dapatkan, diantaranya kekeluargaan, kepedulian, pelayanan, dan pengorbanan. Aku memperoleh nilai kekeluargaan ini dari rasa percaya yang mereka berikan kepadaku. Mereka mempercayaiku ketika berbagi cerita atas pengalaman-pengalaman pribadi mereka, bahkan sampai pada hal yang privasi sekalipun. Selain itu, mereka juga mempercayaiku dalam hal penyimpanan uang. Aku dipersilakan memasukkan sendiri uang hasil penjualan dan dan mengambil sendiri uang kembalian. Mereka sudah mempercayaiku dan tidak merasa khawatir sedikitpun akan kemungkinan adanya pencurian. Menurutku, rasa percaya kepada orang lain adalah dasar yang fundamental untuk berkomunikasi dan menjalin relasi dengan siapapun. Saat ini saja aku sudah dipercaya banyak orang untuk mendengarkan hal-hal yang bersifat privasi, apalagi ketika menjadi menjadi imam kelak. Aku menyimpan semuanya itu dan menjaganya dengan rasa tanggungjawab. Menurutku, ketika kita memberikan rasa percaya kepada orang lain, hal itu akan mengembangkan orang yang kita percayai, dan aku merasakan hal itu.
Nilai yang dapat kupetik selanjutnya adalah kepedulian. Aku memperolehnya ketika mendengarkan kisah gerakan PRD yang membantu orang-orang yang terpinggirkan. Selain itu, kisah pendampingan Rm. Ghani, CM yang heroik juga memunculkan nilai ini. Menurutku, rasa peduli yang diwujudnyatakan dalam perbuatan yang konkret, membawa secercah cahaya harapan bagi orang-orang yang sedang berada di tengah gelapnya permasalahan. Orang-orang yang mempunyai kepedulian ini merupakan perpanjangan tangan Tuhan yang menyayangi umat manusia ciptaan-Nya.
Selanjutnya, aku menyadari adanya nilai pelayanan dan pengorbanan di dalam kegiatan pastoralku ini. Aku memang tidak sehebat Rm. Ghani yang melayani Tuhan Yesus yang hadir didalam orang-orang terpinggirkan itu hingga rela masuk penjara, namun aku mempunyai semangat pelayanan yang tidak kalah besar dengan Rm. Ghani. Aku menyambut pembeli dan melayaninya hingga keperluannya selesai. Ada kebahagiaan tersendiri ketika pembeli yang kulayani itu merasa nyaman dengan pelayananku.
Nilai-nilai yang kutemukan diatas, mempunyai relevansi dengan pembinaanku sebagai calon imam di STPD. Selama ini, nilai kekeluargaan, kepedulian, pelayanan, dan pengorbanan kupraktekkan dalam kehidupan berkomunitas dan kehidupan pastoralku. Aku mewujudnyatakannya melalui hal-hal kecil yang kulakukan dengan setia, misalnya dalam menjalankan tugasku sebagai koordinator koster yang mengkoordinasi dan membantu anggotaku menyiapkan dan membereskan peralatan misa. Di dalam komunitas lantai pun demikian, bila ada teman yang sakit dan tidak bisa makan bersama, aku segera membawakannya makanan dan minuman.
Aku bersyukur atas pengalaman pastoral kemasyarakatan yang telah kujalani selama ini. Semua pengalaman pastoral dan bekal yang kudapatkan ini bagaikan puzzle yang menyusun mozaik indah di dalam bingkai kehidupan panggilanku sebagai seorang calon imam, 
   


0 komentar:

Posting Komentar