Oleh : Bonaventura Mario
“ Tuhan mengasihi kita dengan kasih yang dalam dan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal jika Tuhan yang penuh kasih itu akan membiarkan kita didalam penderitaan dan kesukaran yang berkepanjangan. Untuk membuat kita dapat melihat pertolongan-Nya yang ajaib, sering kali Tuhan mengizinkan kita mengalami sesuatu yang menyakitkan agar kita mengerti keterbatasan kita dan mengandalkan Dia di adalam semua hal.”
(Anthony Harton)
Pada tanggal 22 Mei 2010, kami para seminaris Kelas Khusus (KK) mengadakan suatu acara rutin tahunan yaitu Gelangdang Rohani. Namun bukan hanya karena acara rutin tahunan, tapi ada suatu kerinduan untuk mempraktekkan materi pelajaran Humaniora yang telah kami terima. “Kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan orang-orang miskin, merupakan kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan murid Kristus juga.” (GS. #1) Dengan dasar inilah, para seminaris KK diutus untuk turut merasakan dan mengalami apa yang dirasakan orang-orang miskin.
Dengan semangat yang menggebu-gebu, aku berjalan menyusuri tepi jl. Raya Merdeka Timur yang panas ini. Dengan berbekal uang Rp 5.000 dan sekantong karung bekas, aku dan sahabatku Risa, memulai gelandang rohani. “Semua kembang bernyanyi senang, giranglah hatiku. Pun rumput serta bernyanyi senang, Tuhanlah sumber sukaku.” (PS 703) seperti lagu inilah suasana hatiku waktu itu. Aku bergembira karena aku akan bertemu Tuhan dalam rupa orang-orang miskin.
Dalam perjalanan, sandal yang kupinjam dari salah seorang temanku rusak, pengganjal kaplirnya putus. Terpaksalah aku harus berjalan dengan telanjang kaki, melewati tepi jalan raya Merdeka yang banyak kerikilnya. Kusimpan sandal yang rusak itu kedalam karungku. Ah, sakit rasanya menginjak batu-batu kerikil yang tajam ini, apalagi ada sedikit luka lecet dikedua telapak kakiku. Dengan semangat Agere contra aku terus berjuang untuk tidak merasakannya.
Ketika sinar matahari tepat berada diatas kepala, aku dan sahabatku mencari jalan lain yang lebih teduh. Kami memasuki salah satu jalan pedesaan. Oh betapa sejuknya udara pedesaan di Kabupaten Blitar ini, berbeda sekali dengan daerah asalku, Surabaya. Kulihat ada kursi panjang di pinggir jalan, kami mengisitirahatkan diri disana. Tiba-tiba keluarlah seorang ibu dan seorang bapak yang akan memangkas daun pohon nangka untuk makanan ternak mereka. Terpancar keramahan diwajah mereka. Aku berharap kepada Tuhan agar memberikan pertolongan-Nya kepadaku melalui perantaraan mereka. Sandal yang rusak tadi aku keluarkan dari dalam karung dan meminta peniti untuk mengganjal kaplir sandalku ini. Puji Tuhan, doaku terjawab. Ibu ini menolongku, diambilkannya 2 buah peniti dan kuperbaiki sandalku. Setelah ku perbaiki, kami memohon pamit untuk melanjutkan perjalanan dan mengucapkan terimakasih atas bantuannya. Kehidupan di desa sungguh menyenangkan. Udaranya sejuk, pemandangannya indah, hamparan sawah melintang luas, merdunya kicauan burung, gemericik suara air sawah, membuat hatiku tenang dan damai. Seperempat perjalanan telah kami tempuh dengan gembira, sambil memunguti gelas dan botol air mineral.
Mata kami bagaikan alat pendeteksi botol dan gelas air mineral bekas. Setiap langkah, kami celingukan menoleh kearah kiri dan kanan untuk mencari sampah yang berharga itu. Setiap menemukannya, kami masukkan kedalam karung. Botol dan gelas air mineral ini aku ibaratkan sebagai sebatang emas 24 karat. Betapa berharganya barang-barang ini bagiku, padahal sebelumnya aku menganggap barang ini adalah sampah yang nilai kegunaannya rendah. Namun pada saat gelandang rohani aku menganggap sebaliknya, benar-benar aku perjuangkan dalam proses pencariannya.
Akhirnya kami memasuki kota Blitar. Kupandangi wajah orang-orang yang kujumpai. Pandangan sinis, cuek, acuh-tak acuh tampak dalam raut wajah mereka, seakan-akan aku orang jahat yang harus dihindari. Namun biarlah, aku memang gelandangan yang ingin mencari makna hidup yang sesungguhnya. Sebelum masuk di Seminari, aku sudah pernah diingatkan oleh bapakku akan kerasnya hidup ini. Beliau telah merasakan betapa asinnya makan asam garam kehidupan sebagai seorang supir. “Hidup ini keras, bapak sudah merasakan betapa sulitnya mencari uang. Bapak memasrahkan kepada Tuhan masa depanmu, entah apapun rancangan-Nya.” Itulah nasehat bapakku yang kuingat-ingat sembari memunguti ‘emas’ yang berserakan dipinggir jalan.
Setelah terkumpul cukup banyak, kami menjual emas yang kami kumpulkan.Ya Tuhan, betapa sedikitnya upah dari hasil jerih payah kami ini. Memunguti sampah selama ± 3 jam berjalan kaki, merasakan teriknya sinar matahari, hanya mendapat Rp 2.000 saja. Kurasakan betapa sulitnya hidup sebagai seorang pemulung ini. Kemudian kami beristirahat sejenak di alun-alun kota Blitar. Merenungkan perjalanan kami, melepas lelah, melepas dahaga dengan membeli 2 gelas air mineral. Kami membelinya dengan menggunakan uang hasil keringat kami sendiri.
Aku sadar betapa sulitnya mencari uang. Selama ini aku menggunakan uangku untuk hal-hal yang kurang penting. Padahal orang tuaku di Surabaya sudah bekerja membanting tulang demi menghidupiku, tapi aku malah menggunakannya dengan sesuka hatiku. Dari sinilah aku berusaha menghargai uang. Aku tidak mau diperbudak oleh uang. Akulah yang mengatur uang, bukan uang yang mengatur aku. Aku mau menghargai kerja keras orang tuaku dengan menggunakan pemberian uang saku untukku sebijaksana mungkin.
Malamnya, kami para seminaris KK yang menjalani gelandang rohani ini berkumpul di Alun-alun kota Blitar untuk bersharing dan makan bersama. Seharian kami telah bekerja sesuai dengan profesi yang kami pilih. Ada yang menjadi pengamen dan ada juga yang menjadi pemulung. Uang yang kami peroleh dari hasil kerja seharian tadi kami kumpulkan untuk membeli nasi bungkus. Namun uang kami tidak cukup untuk membeli nasi bungkus. Aku percaya saja kepada Tuhan yang selalu menyertaiku dan membantuku dalam setiap langkah hidupku. Akhirnya kami dapat membeli makan, karena kami menerima kebaikan Tuhan melalui uluran tangan sepasang kekasih yang mau membayarkan biaya makan kami bersembilan ini.
Kami bekerja tidak hanya untuk makan, tetapi juga untuk memperoleh makna hidup dalam setiap prosesnya, terlebih lagi untuk merasakan apa yang dirasakan orang-orang miskin. Hal ini kami lakukan karena Tuhan Yesus bersabda,“Bekerjalah bukan untuk makanan yang dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal,” (Yoh 6:27). Anthony Harton dalam bukunya Sentuhan 9 Menit (jilid 3) mengatakan “ Tuhan mengasihi kita dengan kasih yang dalam dan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal jika Tuhan yang penuh kasih itu akan membiarkan kita didalam penderitaan dan kesukaran yang berkepanjangan. Untuk membuat kita dapat melihat pertolongan-Nya yang ajaib, sering kali Tuhan mengizinkan kita mengalami sesuatu yang menyakitkan agar kita mengerti keterbatasan kita dan mengandalkan Dia di adalam semua hal.
Keesokan harinya, kami berpencar untuk menjalani gelandang rohani dihari yang kedua ini. Aku bekerja menjadi pemulung lagi, bersama temanku Karundeng. Kami berangkat melewati rute yang tiga kali lipat lebih jauh dari keberangkatan kami. Tidak lupa, kami sarapan terlebih dahulu untuk mengisi tenaga yang telah terkuras. Kami membeli nasi bungkus dengan uang yang telah disediakan untuk kami. Dalam keadaan lapar, makanan apapun itu terasa enak. Kami makan ditepi got yang banyak sekali sampahnya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang berseliweran, kami terus saja menikmati berkah kehidupan untuk kami. Ketika kami lelah dan mengantuk, kami beristirahat sambil tidur di pelataran toko. 30 menit kemudian, pemilik toko itu datang dengan ekspresi yang sinis, seakan mau mengusir kami. Kamipun tahu diri, dan sebelum diusir, kami pergi lebih dulu pergi.
Sambil terus memunguti ‘emas’, kami bercerita tentang masa lalu kami agar tidak merasakan lelah yang terus menjangkit. Setelah mengumpulkan cukup banyak, kami merapikan emas kami. Tiba-tiba ada seorang nenek yang berusia ± 70 tahunyang juga berprofesi sebagai pemulung menyapa kami. Kamipun dengan gembira menanggapi sapaan nenek itu, seperti sapaan Tuhan yang hadir dalam diri nenek itu. Kami bersharing bersama tentang hidup kami. Dari nenek itulah aku mendapat pelajaran yang berharga. Hidup ini bagaikan roda yang terus berputar. Kadang ada dibawah, dan terkadang ada diatas. Orang yang hidupnya kaya raya, tidak pernah mengalami kesusahan, pasti akan kaget dan kecewa bila suatu saat berada dalam posisi yang sebaliknya. Orang itu harus sadar, masih ada yang lebih susah dan lebih sengsara dari pada dirinya. Maka dari itu, berbaik hatilah kepada setiap orang, baik yang kaya, maupun yang miskin. Jangan membeda-bedakan status, kekayaan, martabat yang sifatnya sementara. Karena dimata Tuhan, semua manusia itu sama. Tidak ada yang abadi kecuali Tuhan Allah itu sendiri.
Dari sinilah aku mendapat pandangan baru tentang hidup ini, dibukanyalah mataku yang selama ini masih tertutup terhadap orang-orang miskin. Seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal diri setiap hari dan mengikut Aku. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?”( Luk 9:23,25).
Dengan gelandang rohani inilah, aku berjuang mengikuti Yesus. Menyangkal diri, menyangkal statusku yang sebagai seminaris ini untuk mengikuti jalan-Nya sebagai seorang pemulung. Berusaha untuk menjalani roda kehidupan yang berada di bawah.
Syukur kepada-Mu Tuhan, yang telah membuka mata hatiku. Sudah sepatutnyalah aku bersyukur.
-Deo Gratias-
NB: tulisan ini pernah diterbitkan dalam majalah VIVA VOX edisi 100
0 komentar:
Posting Komentar