Oleh: Bonaventura Mario
Sejak kecil saya mendapatkan bimbingan dalam hal-hal yang berbau rohani dari keluarga. Berbagai kegiatan saya jalani, diantaranya yaitu berdoa bersama dalam keluarga, mengikuti perayaan ekaristi setiap hari Minggu, doa lingkungan, rekoleksi, retret, dan menggabungkan diri dalam organisasi misdinar.
Ketika duduk di kelas 5 SD, saya mengikuti misdinar, saya merasa bersemangat dan nyaman karena pastur-pastur yang saya layani orangnya menarik dan berkarisma. Pernah terlintas keinginan untuk menjadi pastur, karena kehidupannya yang penuh dengan pelayanan, bisa tahu segalanya (anggapan saya), memimpin perayaan ekaristi, dan berkotbah. Saya membayangkan seandainya saya yang berada di mimbar, memakai jubah dan memberikan kotbah, pasti menyenangkan.
Ketika saya kelas 2 SMP, saya berkeinginan untuk menjadi pastur, tak disangka kakak saya juga berkeinginan yang sama dengan saya. Hingga kelas 3 SMP keinginan itu masih ada. Ketika saya bertanya pada guru agama saya, beliau mengatakan bahwa batas waktu pendaftarannya sudah lewat. Namun beliau menghibur saya dengan mengatakan bahwa masuk seminari setelah lulus SMA saja. Kemudian saya melanjutkan pendidikan saya di SMAN 10 Surabaya.
Masa-masa SMA saya jalani dengan mengikuti berbagai macam kegiatan yang menjadi sarana saya dalam mengembangkan diri, mencari jatidiri, serta penguatan panggilan. Saat kelas 3 SMA, saya mengikuti kepanitiaan dalam acara LINEAR 2k8 (Live In Pelajar SMA/ SMK se-Surabaya Tahun 2008) di Ngawi. Dalam acara ini, saya menemukan keprihatinan yang menguatkan panggilan saya untuk menjadi pastur. Umat di stasi Banjaran, Paroki St. Yosef Ngawi bersemangat sekali dalam mengikuti kegiatan kehidupan menggereja. Mereka berjalan ±3 Km menuju ke gereja. Melewati jalan makadam, naik turun bukit, melewati jalan berbatu yang licin karena hujan, hanya untuk mengikuti ibadat sabda. Ketika saya hadir bersama dengan mereka, saya mengetahui hal baru yang cukup mengagetkan bagi saya. Ternyata perayaan ekaristi diadakan hanya satu kali dalam satu bulan. Hal ini berbeda jauh dengan kehidupan di paroki saya. Di Paroki Sakramen Maha Kudus Surabaya, perayaan ekaristi diadakan setiap hari. Ada misa harian dan misa kudus di hari Sabtu dan Minggu. Ketika saya telusuri mengapa terjadi hal yang demikian, ternyata penyebabnya adalah kurangnya tenaga imam. Imam yang bertugas di paroki St. Yosef Ngawi waktu itu hanya ada 2 orang, sedangkan mereka mengurusi paroki dan banyak sekali stasi, dan hal-hal lainnya.
Saya merasa prihatin dan kasihan, masakan umat yang begitu bersemangat dalam hidup menggereja kekurangan pelayanan dari imamnya. Apakah tenaga imam yang ada selama ini masih kurang? Setelah saya renungkan, saya ingin menjadi seorang gembala yang melayani umat, jiwa-jiwa yang haus akan kasih Tuhan. Ya, saya ingin menjadi seorang imam.
Untuk menjadi imam, saya harus menempuh pendidikan di tempat yang khusus terlebih dahulu, yaitu di Seminari. Ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk menjadi imam, ayah saya gembira karena Tuhan menjawab doanya. Beliau bercerita bahwa dulunya, beliau juga mempunyai keinginan untuk menjadi imam, namun tidak diijinkan oleh orangtuanya. Maka beliau mempunyai keinginan untuk menyerahkan kedua anaknya kepada Tuhan. Selama ini beliau tidak pernah menceritakan hal ini kepada anak-anaknya, namun beliau hanya berdoa saja. Maka dari itu beliau gembira sekali. Kalau saja beliau yang menjadi imam, hanya satu orang saja. Namun Tuhan berkehendak lain, yaitu membuat dua orang yang berkeinginan menjadi imam.
Saya mendaftar ke Seminari bukan hanya karena ingin menjadi imam, tapi karena faktor keadaan juga. Saat saya kelas 3 SMA, mendekati semester II, saya merencanakan masa depan saya bersama orangtua. Opsi pertama yaitu kuliah, namun keadaan ekonomi keluarga kurang mencukupi. Opsi kedua yaitu bekerja, namun saya masih ingin mengenyam pendidikan lebih lanjut. Opsi ketiga yaitu masuk ke Seminari, untuk memperjuangkan panggilan saya menjadi imam. Karena biaya DPP perbulannya bagi keluarga saya cukup tinggi, kami berkonsultasi dengan romo paroki. Akhirnya romo memberikan bantuan keuangan.
Saya merasa Tuhan memberikan kemudahan dan dukungan dalam menyusuri jalan panggilan menjadi imam. Saya lulus UNAS dengan nilai yang cukup memuaskan. Kendala-kendala teknis yang menghadang seakan di singkirkan oleh Tuhan. Kini saya tinggal memperjuangkan hidup panggilan. Bulan-bulan awal di Seminari merupakan masa adaptasi yang cukup berat bagi saya. Namun dukungan dari romo pembimbing, umat dan orangtua yang senantiasa mendoakan, dan kakak saya yang juga menjadi seminaris, selalu menguatkan panggilan saya. Managemen diri dan managemen waktu menjadi permasalahan-permasalahan saya dalam menjalani rutinitas. Sulitnya menentukan prioritas, dan permasalahan relasi dengan teman seperjuangan menjadi menu utama saya untuk bimbingan rohani.
Membuat jurnal mingguan, menghidupi nilai tertentu dalam satu minggu, bimbingan rohani minimal dua kali dalam satu semester, membuat saya merasa hidup ini sungguh teratur, hidup yang saya jalani adalah hidup bersama, bukan sendirian. Saya merasa kebersamaanlah yang menguatkan panggilan saya. Dengan adanya berbagai acara tahunan yang diadakan Seminari, saya merasa hidup ini lebih bervariasi dan semakin menguatkan panggilan saya. Merasakan pedihnya suatu perpisahan dengan teman seperjuangan sempat membuat panggilan saya goyah, namun berkat doa dan dukungan dari berbagai pihak, saya terus memperjuangkan panggilan saya.
Pengalaman pastoral stasi dan sekolah juga membuat saya merasa dibutuhkan oleh banyak umat. Saya menjadi tahu akan pergulatan dan permasalahan yang terjadi pada umat di stasi. Kehadiran dan pelayanan seorang imam sungguh mempunyai arti yang besar bagi umat. Pengalaman mengajar di sekolah juga membuat saya menjadi guru. Guru yang mengajar, mendidik orang lain. Meskipun usia saya masih remaja, saya seakan-akan dituntut untuk menjadi dewasa, menjadi teladan bagi adik kelas, umat stasi, dan bagi murid-murid di sekolah. Awalnya memang berat, namun ketika saya memohon pertolongan Tuhan melalui doa, saya mendapatkan bantuan dari teman-teman seangkatan dan para staf formator. Inilah yang membuat saya yakin akan panggilan saya.
Saat menjalani retret, saya merenungkan kembali riwayat hidup panggilan saya. Saya bersyukur atas bantuan Tuhan melalui tangan-tangan kasih-Nya yang turut campur tangan dalam menguatkan panggilan saya. Banyak jiwa yang masih membutuhkan pelayanan dan sapaan rohani. Saya ingin menjadi salah satu orang yang melayani dan menguduskan dunia ini. Pada dasarnya, menjadi imam apapun itu, yang membedakan yaitu ciri khas dalam penghayatan dan pelayanannya. Yang penting itu imamatnya. Setelah saya refleksikan, saya merasa diutus Tuhan untuk menjadi imam Diosesan Surabaya. Karena panggilan saya berawal di Keuskupan Surabaya, umat yang saya tahu keadaannya pun juga Keuskupan Surabaya. Jadi saya memutuskan untuk bergabung di Diosesan Surabaya.